Rabu, 30 November 2011

MENCIPTAKAN KELUARGA BERDASARKAN AGAMA ISLAM

A.    Pendahuluan
Berkeluarga adalah fitrah setiap manusia. Maka tatkala kaum wanita Barat meneriakkan NOMAR (No Married) dan DINK (Double Income No Kids) hancurlah sendi-sendi keluarga di sana. Majalah Times (edisi 28 Juni 1983) mengungkapkan bahwa 40 % dari seluruh anak-anak di AS yang lahir antara tahun 1970-1984 menghabiskan masa kanak-kanak mereka tampa kasih sayang orang tua -karena orang tua mereka bercerai atau karena orang tua mereka (memang) tidak pernah menikah. Majalah Fortune (edisi 2 September 1995) mengungkapkan banyaknya wanita eksekutif di Barat yang mengalami stress. Mereka merasakan kekecewaan, ketidak puasan dan kekhawatiran , sehingga hidup dan jiwa mereka menjadi kacau. Bahkan umumnya mereka mengalami perceraian dan gangguan hubungan sosial dalam keluarga. Lebih jauh lagi, Jurnal The Economist edisi September 1995 memberitakan fakta bahwa di negara Eropa Utara, institusi keluarga tengah mengalami keruntuhan. Di Swedia dan Denmark, setengah dari bayi-bayi- lahir- dari ibu yang tidak menikah. Setengah dari perkawinan di Swedia dan Norwegia berakhir dengan perceraian, dan orang tua yang tidak menikah lagi karena sudah bercerai tiga kali lebih banyak dari jumlah perkawinan. Akibatnya jumlah orang tua tunggal meningkat sampai 18 % pada tahun 1991. Istilah single parent (orang tua tunggal) dan nuclear family (keluarga inti ; yang hanya terdiri dari ayah dan ibu ) menggambarkan betapa sepi dan keringnya fungsi kekeluargaan dalam masyarakat modern (Barat). Dari Dokumen Rencana Aksi pada saat Konferensi Beijing yang lalu (1995) membuktikan kesuksesan tuntutan para ‘feminist’ yang menginginkan kebebasan bagi para wanita dalam menentukan bentuk dan komposisi keluarga (apakah orang tua tunggal atau orang tua dari pasangan sesama wanita), kebebasan orientasi seksual (apakah heteroseksual ataupun homo seksual) dan kebebasan reproduksi (punya anak atau tidak). Serta masih banyak lagi suara sumbang kaum ‘feminist’ yang memporak porandakan dan menjungkir balikkan konsep keharmonisan keluarga dalam suatu masyarakat. Dan karena semua itu adalah suara kebebasan yang tercetus dari ide kapitalisme (yang rusak) maka tidaklah terlalu mengherankan apabila ‘gerakan‘ tersebut mengakibatkan krisis nilai-nilai keluarga bagi masyarakat manapun yang menerapkan ide tersebut.

B.     Pengertian Keluarga
Kamus Besar Bahasa Indonesia (hal : 536) mendefinisikan keluarga dalam beberapa pengertian; a) Keluarga terdiri dari ibu dan bapak beserta anak-anaknya, b) Orang yang  seisi rumah yang menjadi tanggungan, c) Sanak saudara,  d) Satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam kekerabatan.  Dalam tinjauan antropologi budaya, keluarga merupakan mekanisme yang dibentuk dan dipertahankan manusia untuk mengatur reproduksi dan menyeimbangkan antara kehidupan dan kebutuhannya. Hamzah Ya’qub (hal: 146) menyebutkan; Keluarga adalah persekutuan hidup berdasarkan perkawinan yang sah dari suami dan istri yang juga selaku orang tua dari anak-anaknya yang dilahirkan.
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya1 Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain2, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.

1   Maksud dari padanya menurut jumhur mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan Muslim. di samping itu ada pula yang menafsirkan dari padanya ialah dari unsur yang serupa Yakni tanah yang dari padanya Adam a.s. diciptakan.
2   Menurut kebiasaan orang Arab, apabila mereka menanyakan sesuatu atau memintanya kepada orang lain mereka mengucapkan nama Allah seperti :As aluka billah artinya saya bertanya atau meminta kepadamu dengan nama Allah.
C.    Hak dan Kewajiban Suami-Istri
1.      Suami istri, hendaknya saling menumbuhkan suasana mawaddah dan rahmah. (Ar-Rum: 21).
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

2.      Hendaknya saling mempercayai dan memahami sifat masing-masing pasangannya. (Al-Hujuraat: 10)
 
Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.

3.      Hendaknya menghiasi dengan pergaulan yang harmonis. (An-Nisa’: 19)
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa1 dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata2. dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.

1    Ayat ini tidak menunjukkan bahwa mewariskan wanita tidak dengan jalan paksa dibolehkan. menurut adat sebahagian Arab Jahiliyah apabila seorang meninggal dunia, Maka anaknya yang tertua atau anggota keluarganya yang lain mewarisi janda itu. janda tersebut boleh dikawini sendiri atau dikawinkan dengan orang lain yang maharnya diambil oleh pewaris atau tidak dibolehkan kawin lagi.
2    Maksudnya: berzina atau membangkang perintah.

4.      Hendaknya saling menasehati dalam kebaikan. (Muttafaqun Alaih)

D.    Membina Keluarga Sakinah
Nick Stinnet dan John Defrain (1987) dalam studi yang berjudul “The National Study on Family Strength” mengemukakan enam langkah membangun sebuah keluarga sakinah yaitu:
1.      Menciptakan kehidupam beragama dalam keluarga. Hal ini diperlukan karena di dalam agama terdapat norma-norma dan nilai moral atau etika kehidupan. Penelitan yang dilakukan oleh kedua profesor di atas menyimpulkan bahwa keluarga yang di dalamnya tidak ditopang dengan nilai-nilai religius, atau komitmen agamanya lemah, atau bahkan tidak mempunyai komitmen agama sama sekali, mempunyai resiko empat kali lipat untuk tidak menjadi keluarga bahagaia atau sakinah. Bahkan, berakhir dengan broken home, perceraian, perpisahan tidak ada kesetiaan, kecanduan alkohol dan lain sebagainya.
2.      Meluangkan waktu yang cukup untuk bersama keluarga. Kebersamaan ini bisa diisi dengan rekreasi. Suasana kebersamaan diciptakan untuk maintenance (pemeliharaan) keluarga. Ada kalanya suami meluangkan waktu hanya untuk sang istri tanpa kehadiran anak-anak.
3.      Interaksi sesama anggota keluarga harus menciptakan hubungan yang baik antaranggota keluarga, harus ada komunikasi yang baik, demokratis dan timbal balik.
4.      Menciptakan hubungan yang baik sesama anggota keluarga dengan saling menghargai. Seorang anak bisa menghargai sikap ayahnya. Begitu juga seorang ayah menghargai prestasi atau sikap anak-anaknya; seorang istri menghargai sikap suami dan sebaliknya, suami menghargai istri.
5.      Persatuan dalam keluarga yang memperkuat bangunan rumah tangga. Hal ini diempuh dengan sesegera mungkin menyelesaikan masalah sekecil apapun yang mulai timbul dalam kehidupan keluarga. Keluarga sebagai unit terkecil jangan sampai longgar, karena kelonggaran hubungan akan mengakibatkan kerapuhan hubungan.
6.      Jika terjadi krisis atau benturan dalam keluarga, maka prioritas utama adalah keutuhan rumah tangga. Rumah tangga harus dipertahankan sekuat mungkin. Hal ini dilakukan dengan menghadapi benturan yang ada dengan kepala dingin dan tidak emosional agar dapat mencari jalan keluar yang dapat diterima semua pihak. Jangan terlalu gampang mencari jalan pintas dengan memutuskan untuk bercerai.
Aid Agil Husin al-Munawwar, yang menyatakan bahwa simpul-simpul yang dapat mengantar atau menjadi prasyarat tegaknya keluarga sakinah adalah:
1.      Dalam keluarga ada harus mahabbah, mawaddah dan rahmah;
2.      Hubungan suami isteri harus didasari oleh saling membutuhkan, seperti pakaian dan pemakainya (hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna);
3.      Dalam pergaulan suami istri, mereka harus memperhatikan hal-hal yang secara sosial dianggap patut, tidak asal benar dan hak (wa’asyiruhinna bil ma’ruf), besarnya mahar, nafkah, cara bergaul dan sebagainya harus memperhatikan nilai-nalai ma’ruf;
4.      Menurut hadis Nabi, pilar keluarga sakinah itu ada lima, yaitu: pertama, memliliki kecenderungan kepada agama; kedua, mudah menghormati yang tua dan menyayangi yang muda; ketiga, sederhana dalam belanja; keempat, santun dalam bergaul; dan kelima, selalu introspeksi;
5.      Menurut hadis Nabi yang lain disebutkan bahwa ada empat hal yang menjadi pilar keluarga sakinah, yaitu: peratama, suami istri yang setia (shalih dan shalihah) kepada pasangannya; kedua, anak-anak yang berbakti kepada orang tuanya; ketiga, lingkungan sosial yang sehat dan harmonis; keempat, murah dan mudah rezekinya.

E.     Tanggung Jawab Orang Tua terhadap Anak
 
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.

Secara khusus ayat di atas berkaitan dengan waris. Para orangtua dilarang meninggalkan anak keturunannya tak berharta lalu kemudian terhina dengan menjadi peminta-minta. Islam jelas melarang keras umatnya menghinakan diri seperti itu. Umat Islam diharuskan mandiri, produktif dan pemberi sebagaimana adanya kewajiban zakat, infaq dan sodaqoh.
Namun secara umum ayat ini berkaitan dengan hal yang lebih luas, tidak hanya berbicara tentang waris (harta) tetapi juga yang lainnya. Orangtua diharuskan khawatir meninggalkan (mewariskan) kepada anak cucunya dhu’afa (kelemahan) dalam beberapa hal di antaranya :
1.      Lemah harta kekayaan. Seperti telah dijelaskan di atas, Islam mengharuskan umat untuk mewariskan harta kekayaan kepada keturunannya. Namun Islam adalah agama yang pertengahan (wasithiyah), seimbang sesuai fithrah insaniyah. Islam bukan agama yang mengharamkan umat memiliki harta, bukan juga agama yang memerintahkan umat untuk mendewakan harta dan menghambakan dirinya kepada harta. Tidak ada larangan dalam Islam untuk memiliki harta, Selama harta itu membuat pemiliknya semakin mendekatkan diri kepada Allah swt.
2.       Lemah fisik. Islam mewanti-wanti agar para orangtua tidak meninggalkan keturunannya dalam keadaan lemah fisiknya. Islam mewajibkan umat untuk memiliki kekuatan fisik sebagaimana telah Allah perintahkan dalam surat Al-Anfaal ayat 60 :
“Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggetarkan musuh Allah dan musuh kalian….”
Rasulullah saw bersabda: “Didiklah anak-anak kalian berenang, melempar dan berkuda.”
3.       Lemah ilmu. Jelas sangat berbahaya jika ada orangtua yang meninggalkan anak keturunannya tidak berilmu. Sebab ilmu adalah modal dasar kehidupan bisa berjalan dengan baik atau tidak. Ilmulah yang pertamakali harus dimiliki oleh setiap muslim sebelum berbicara dan beramal.
Lemah Aqidah. Inilah kelemahan yang paling dahsyat bahayanya. Bahaya yang tiada terkira, karena Aqidahlah penentu keselamatan hidup dunia dan akhirat. Orangtua bertanggungjawab penuh atas keselamatan aqidah anak-anaknya seperti yang Allah ingatkan dalam surat At-Tahrim ayat 6: “Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka….”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar